Rabu, 26 Agustus 2015

REOG DAN LUDRUK: DUA PUSAKA BUDAYA DARI JAWA TIMUR YANG MASIH BERTAHAN

REOG DAN LUDRUK: DUA PUSAKA BUDAYA DARI JAWA TIMUR YANG MASIH BERTAHAN

Oleh : Ayu Sutarto

Pendahuluan Masyarakat Jawa Timur memiliki banyak tradisi yang masih hidup (the living traditions) dan dimanfaatkan serta dibanggakan oleh para pendukungnya. Tradisi-tradisi tersebut, antara lain, berupa berbagai bentuk kesenian yang memiliki banyak pewaris, baik pewaris aktif (active bearers) atau pelaku seni maupun pewaris pasif (passive bearers) atau penikmat seni.
Bentuk kesenian yang masih hidup tersebut secara garis besar dapat dibagi dua, yakni kesenian agraris, antara lain, tayub, sandur, seblang, gandrung, dan reog, serta kesenian non agraris seperti ludruk, wayang orang, kentrung, topeng, ketoprak, jinggoan, janger, dan lain-lainnya. Salah satu bentuk kesenian agraris yang sampai sekarang masih hidup dan memiliki pewaris aktif dan pasif yang cukup banyak di Jawa Timur, bukan hanya di wilayah kebudayaan Jawa Ponoragan, adalah reog Ponorogo. Sedangkan untuk kesenian nonagrarisnya adalah sebuah teater rakyat yang disebut ludruk. Kedua bentuk seni pertunjukan ini memiliki pewaris aktif dan juga pewaris pasif yang tersebar di berbagai tempat. Namun demikian, sejalan dengan bertumbuhnya produk-produk kebudayaan global, terutama pop arts, posisi kedua bentuk kesenian tersebut makin lama makin terjepit. Reog Ponorogo, misalnya, di samping merupakan bentuk kesenian yang unik juga bentuk kesenian yang terkait dengan ilmu kanuragan atau kekuatan fisik. Mereka yang tidak memiliki tubuh yang sehat dan kuat tidak akan mampu menyangga barongan dan dhadhak merak yang cukup berat. Ludruk bisa bertahan karena lakon-lakon yang dipentaskan sangat aktual dan akrab dengan budaya setempat, berupa legenda, dongeng, kisah sejarah dan kehidupan sehari-hari yang menggunakan bahasa yang sangat komunikatif, disertai lawakan yang sangat menghibur. 

Makalah disampaikan dalam Jelajah Budaya dengan tema: Pengenalan Budaya Lokal Sebagai Wahana Peningkatan Pemahaman Keanekaragaman Budaya yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 22-25 Juni 2009. ∗∗) Peneliti Tradisi, Universitas Jember Jawa Timur

Senyatanya tantangan yang harus dihadapi oleh para pewaris aktif seni pertunjukan tradisional agar bertahan hidup di tengah-tengah pergumulan antara selera lokal dan selera global sangatlah berat. Di satu sisi mereka (para pewaris aktif) memiliki komitmen yang kuat dan tulus untuk senantiasa memelihara dan mencintai tradisinya, tetapi di sisi lain mereka harus juga berhadapan dengan kenyataan perih bahwa pasar atau penikmat tidak lagi berpihak kepada produk-produk hiburan tradisional yang mereka tawarkan. Makalah ini akan menguak kehidupan dan kebertahanan produk kesenian agraris, reog Ponorogo, dan produk kesenian nonagraris, yakni sebuah teater rakyat yang disebut ludruk. Paparan ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang bagaimana seni reog dan seni ludruk dapat bertahan di tengah gelombang produkproduk kesenian global. Paparan ini juga diharapkan dapat memberi inspirasi kepada para pewaris aktifnya (para pekerja reog dan pekerja seni ludruk) serta para pewaris pasifnya (para penikmat yang terdiri dari masyarakat Jawa Timur dan masyarakat di luar provinsi Jawa Timur), yakni inspirasi yang terkait dengan upaya konservasi dan promosi untuk keberlangsungan hidupnya.  

Reog dan Ludruk: Dua Tradisi Hidup yang Masih Bertahan Dalam konteks sejarah kebudayaan, tradisi agraris yang berkembang di wilayah Jawa Timur telah melahirkan beberapa bentuk kesenian agraris yang hingga saat ini masih hidup dan berkembang, antara lain, tayub, gandrung, seblang, kerapan sapi dan berbagai upacara kurban seperti upacara Kasada di Tengger dan upacara Petik Laut di Muncar atau di beberapa daerah pantai lain. Di samping tradisi memuja Dewi Padi atau Dewi Kesuburan, tradisi agraris yang berkembang di Jawa timur juga melahirkan banyak bentuk kesenian yang lain, misalnya:
  1. ·         Kerapan sapi di madura,
  2. ·         Bantengan di mojokerto,
  3. ·         Kebo-keboan di banyuwangi,


Harimau yang sangat ditakuti para petani agaknya juga melahirkan banyak seni tari yang hingga saat ini masih hidup di wilayah Jawa Timur, seperti tari Barong di Kemiren, Kabupaten Banyuwangi, tari Singa Ulung di Kabupaten Bondowoso, dan Can Macanan Kadduk di Kabupaten Jember. Meski tidak pernah disebutkan dalam sejarah reog, tari reog Ponorogo bisa jadi juga lahir dari fenomena yang sama (Sutarto, 2009). Sejatinya bentuk-bentuk kesenian agraris yang masih memiliki pendukung yang cukup kuat ini merupakan kekayaan budaya yang secara ekonomis dapat dimanfaatkan oleh para pewarisnya. Kekhasan dan keunikan yang dibawa oleh bentuk kesenian tersebut merupakan modal dasar yang sangat berarti bagi keberlangsungan hidupnya.
Setiap bentuk kesenian memiliki sejarah asal-usul dan perkembangan yang berbeda. Bahkan, sebuah bentuk kesenian bisa memiliki asal-usul atau sejarah lebih dari satu versi. Seni reog Ponorogo, misalnya, memiliki lebih dari satu versi. Versi pertama, bertolak dari gaya tari dan legenda yang diceritakan oleh pewaris aktifnya, maka seni reog dikaitkan dengan era Kerajaan Kahuripan di Kediri (1019-1049). Pada waktu itu wilayah yang sekarang disebut Ponorogo bernama Wengker, yang  merupakan bagian dari Kerajaan Kahuripan. Tetapi perlu ditegaskan bahwa tokoh-tokoh utama yang disebut dalam kisah tentang asal-usul seni reog seperti :
  1. ·         Prabu Klana Sewandana,
  2. ·         Pujangga Anom,
  3. ·         Dewi Sanggalangit,
  4. ·         Singabarong,
  5. ·         Manyura,

sejatinya bukan tokoh sejarah. Dalam legenda tersebut dikisahkan bahwa Raja Wengker, Klana Sewandana, dan patihnya Pujangga Anom pergi ke Kerajaan Kediri untuk melamar putri Kahuripan yang sangat cantik. Dalam perjalanan ke Kediri, di tengah rimba Lodaya, mereka dihadang oleh raja rimba yang bernama Singabarong dan Manyura, seekor merak yang cantik tetapi sangat perkasa. Dengan bantuan cambuk Semandiman, Klana Sewandana berhasil mengalahkan musuh-musuhnya dan bahkan membuat mereka menjadi makhluk yang memiliki dua kepala, yaitu kepala harimau dengan seekor burung merak bertengger di atasnya. Diceritakan pula bahwa Raja Klana Sewandana dapat bertemu Putri Sanggalangit, tetapi tidak menikahinya. Menurut kepercayaan, keduanya moksa. Versi kedua mengisahkan bahwa seni reog pertama-tama dimanfaatkan oleh Demang Ki Ageng Kutu Surya Ngalam, seorang ulama untuk mengeritik Raja Majapahit, Brawijaya V, yang dikendalikan oleh permaisurinya. Sang Raja dilambangkan sebagai seekor harimau, sedangkan Sang Permaisuri dilambangkan sebagai burung merak yang hinggap di atas kepala harimau tersebut. Pada waktu Ponorogo diperintah oleh Bathara Katong, seni reog digunakan sebagai alat yang efektif untuk menarik massa dan juga berkomunikasi dengan mereka. Bathara Katong mampu mengamankan wilayah Majapahit, terutama kadipaten Ponorogo, dan berhasil menyebarkan agama Islam secara damai. Ki Ageng Mirah, seorang abdi yang setia, menandai keberhasilan tersebut dengan menempatkan lambang Islam dalam bentuk tasbih pada paruh burung merak. Sementara simbol ular masih tetap ada.
Para seniman reog sangat menghormati tokoh lokal yang disebut warok. Bagi masyarakat Ponorogo warok adalah tokoh lokal yang memiliki kekuatan adikodrati, martabat, dan kharisma. Dalam seni reog para leluhur orang Ponorogo mengabadikan peranan warok sebagai pengawal raja Wengker yang perkasa. Untuk memperingati keberhasilan para pemuka Islam Ponorogo dalam menyebarkan agamanya, seperti Ki Ageng Kutu Surya Ngalam, Bathara Katong, dan Ki Ageng Mirah, maka masyarakat Ponorogo dengan dibantu oleh pemerintah Kabupaten Ponorogo menyelenggarakan festival reog pada setiap bulan Syura atau Muharam.   Pergelaran seni reog pada umumnya menggambarkan perjalanan prajurit berkuda dari Ponorogo menuju kerajaan Kediri untuk mempersunting putri Raja Kediri. Perjalanan para prajurit tersebut dipimpin oleh senapati Bujangganong. Dalam perjalanan pulang, mereka dihadang oleh Singabarong beserta tentaranya, tetapi prajurit Ponorogo memetik kemenangan. Dalam sejarah politik Indonesia, reog pernah digunakan untuk mengumpulkan atau mengerahkan massa, terutama dalam rapat atau kampanye partai politik. Jadi, di samping berfungsi sebagai hiburan, seni reog juga berfungsi sebagai alat penggerak massa.  Formasi iring-iringan seni reog biasanya terdiri dari :
  • 1      tiga atau empat orang pengawal yang berpakaian lengkap dan khas Ponoragan. Mereka berperan sebagai pembuka jalan;
  • 2      kelompok pendamping yang bertugas menjaga barisan penari reog, jumlahnya seimbang dengan jumlah kelompok pengawal;
  • 3      penari/pemain inti dan pemain cadangan, terdiri atas pemain barongan, penari topeng, dan penari kuda;
  • 4      pemukul gamelan yang berada di belakang kelompok penari, terdiri atas peniup terompet, tukang gendang, pemain angklung, pemukul kethuk kenong, dan pemukul ketipung; dan paling belakang .

5    para pengiring. Para pemain, pengawal, pendamping, pengiring, dan pemukul gamelan mengenakan pakaian khas Ponoragan yang hingga saat ini menjadi identitas masyarakat Ponorogo.
  Pada umumnya para pemain dan pengiring reog adalah kaum lelaki. Dalam perkembangannya, muncul juga pemain perempuan, yakni para pengendara kuda kepang atau eblek. Pernah pada suatu ketika seorang pejabat di Kabupaten Ponorogo, yakni Kasi III Departemen P dan K Kabupaten Ponorogo mengeluarkan surat edaran tentang larangan bagi perempuan untuk tidak menjadi penari kuda kepang. Dinyatakan dalam surat edaran tersebut bahwa penari wanita dalam seni reog adalah tabu. Larangan tersebut  tertuang dalam Surat Dep. P dan K No. 644/II.04.19/J-78 tanggal: 1-7-1978 (Hartono, 1980:18). 
Dalam sejarah seni reog Ponorogo dikenal adanya perilaku homoseksual. Sekelompok laki-laki memelihara anak laki-laki belia, yang disebut gemblakan yang dijadikan kekasih. Anak laki-laki tersebut menggantikan fungsi wanita. Ia disayangi dan dimanjakan layaknya kekasih. Fenomena ini sekarang jarang terdengar, tetapi beberapa orang mengatakan bahwa praktik homoseksual dalam seni reog masih sering terjadi.  Gamelan yang mengiringi seni reog sangat khas, terdiri atas angklung, ketipung, gendang, kempul, kethuk kenong, dan terompet. Kesenian reog tidak dapat diiringi dengan jenis gamelan yang lain. Irama musiknya penuh gairah dan semangat, seolah-olah sebuah pertempuran sedang membara. Musik ini dipercaya sebagai pemberi energi positif terhadap penari reog, terutama penyangga barongan dan dhadhak merak yang sangat berat, terkadang seberat 60 kg.  Barongan dan dhadhak merak sebenarnya dua buah benda yang dapat dipisahkan.
Barongan adalah sebuah peralatan berbentuk kepala harimau, sedangkan dhadhak berupa burung merak yang sedang menari. Apabila kedua buah benda tersebut disatukan, maka ia disebut reog. Dalam seni reog juga terdapat penari topeng lain di samping barongan, yakni topeng hewan, topeng manusia, dan topeng raksasa.Topeng Bujangganong berwujud raksasa. Warnanya merah tua atau hitam. Rambutnya panjang ke depan dan mata melotot. Terkadang ia disebut thethek melek. Sebagian besar pemerhati menyatakan bahwa sebutan Bujangganong berasal dari Pujangga Anom.. Barongan termasuk topeng hewan. Sedangkan yang termasuk topeng manusia adalah topeng klana. Ada juga yang memasukkan topeng patrajaya dan topeng patrathala ke dalam kelompok topeng manusia. Dahulu, penari kuda kepang ialah seorang gemblakan,  sedangkan sebagai pembarongnya diperagakan oleh seorang warok. Gemblakan atau warokan merupakan dua sosok yang berbeda tetapi merupakan satu kesatuan. Keduanya tidak dapat dipisahkan, ibarat merak dengan harimau dalam rimba raya. Gemblakan adalah merak, sedang warokan adalah singa hitam (Hartono, 1980:69).  Hingga saat ini seni reog masih memiliki pewaris aktif dan pewaris pasif yang cukup banyak. Daya tarik seni reog masih cukup besar. Banyak event penting yang menyuguhkan pertunjukan reog. Biaya tanggapan cukup beragam, dari beberapa juta hingga puluhan juta rupiah. Meskipun sekarang ini seni reog tidak lagi menjadi instrumen politik dan hanya memiliki pasar yang terbatas, ia masih dapat bertahan dengan gagah dan mampu mencuri perhatian massa. Bagaimana halnya dengan perkembangan seni ludruk di Jawa Timur? Masih banyaknya kelompok kesenian ludruk di berbagai daerah di Jawa Timur merupakan indikator bahwa teater tradisional ini masih dikehendaki keberadaannya.
Dari Buku Seni Tradisi Budaya Daerah (Data organisasi Kesenian Daerah se Jawa Timur) yang diterbitkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur (1998) dapat dilihat bahwa sebagian kota di Jatim, terutama wilayah kebudayaan Arek dan Pandalungan masih  memiliki banyak kelompok kesenian ludruk.  Sebagai seni pertunjukan tradisional Jawa, ludruk memiliki konvensi yang terkait dengan wewaton (dasar pertunjukan), paugeran (aturan pertunjukan), dan pakem (bakuan) dalam setiap pertunjukannya. Diakui atau tidak, seni pertunjukan ludruk sekarang ini merupakan salah satu jenis seni pertunjukan tradisional yang menjadi “korban” perubahan selera berkesenian dan selera publik terhadap jenis tontonan dan hiburan. Sekarang ini, sejujurnya, berbeda dari era 1950-an dan 1960-an ketika kesenian tradisional masih berjaya, ludruk kurang  mendapatkan tempat di hati publik.  Dalam sejarah kesenian, ludruk memiliki sejarah yang cukup panjang. Suripan Sadi Hutomo (1990:7) telah menyajikan sistematika sejarah ludruk berdasarkan manuskrip, kamus, artikel, dan laporan pejabat pemerintah kolonial Belanda. Menurutnya, sejarah ludruk berdasarkan data tertulis, berawal dari Lerok Bandan, yakni seni pertunjukan rakyat yang dipentaskan di halaman, didukung dengan alat musik yang amat sederhana, anatar lain, kendang dan jidor. Penyajian pertunjukan lerok bandan didukung oleh pelaku panggung yang menyajikan adegan mistis, kesaktian atau kekebalan. Pertunjukan ini seringkali digunakan sebgai pengobatan anak yang sedang sakit. Secara historis bentuk seni ludruk ini diperkirakan telah muncul ada abad ke-13 dan ke-14 bahkan sampai abad ke-16. Kemudian dikenal istilah Sandiwara Lerok yang telah dilengkapi dengan musik pengiring gamelan sederhana, tetapi di dalamnya sudah terdapat kidung/kidungan. Bentuk ini masih menyajikan unsur mistis, kekuatan gaib, tenaga dalam dan serangkaian sistem religi Jawa yang lain. Setelah itu muncul istilah  Lerok Besut dan Lerok Ngamen yang mendapat sambutan besar dari masyarakatnya. Para pemainnya sering diundang ke tempat orang-orang yang punya hajat, misalnya acara penganten, khitanan, ngruwat/melepas kaul, dan lain-lainnya  dengan sebutan nanggap lerok (Supriyanto, 2001:11). Yang paling akhir muncul adalah bentuk lerok berlakon, yakni penyajian seni pertunjukan dengan dukungan cerita. Lerok berlakon ini memasuki masa popularitas yang tinggi sesudah zaman Jepang dan pasca kemerdekaan Republik Indonesia. D. Djajakusuma pada sarasehan ludruk di Surabaya pada tahun 1987 mengatakan bahwa pada awal abad ke-19, kata ludruk telah dikenal di lingkungan masyarakat Jawa Timur. Berdasarkan data tersebut, Suripan Sadi Hutomo menyimpulkan bahwa pada abad ke-17 kata ludruk dalam arti badhut atau bebadhutan telah menjadi kesenian rakyat. Permasalahannya ialah bagaimana menelusuri bentuk dan ciri kesenian rakyat tersebut yang tidak dapat direkonstruksi (Supriyanto, 2001:8-10). 
Sebagai produk budaya lokal, ludruk merupakan seni pertunjukan yang khas bagi rakyat Jawa Timur. Sebagai produk budaya lokal yang khas, ludruk mempunyai karakteristik yang tidak ditemukan dalam seni tradisional yang lain. Sedyawati (dalam Supriyanto, 1992:23-24) menyatakan bahwa ludruk sebagai drama tradisional, memiliki ciri khas,  antara lain,
(1)   pertunjukan ludruk dilakukan secara improvisatoris, tanpa persiapan naskah;
(2)   memiliki pakem/ konvensi:
(a)   terdapat pemeran wanita yang diperankan oleh  laki-laki;
(b)   memiliki lagu khas, berupa  kidungan jula-juli;
(c)    iringan musik berupa gamelan berlaras slendro, pelog, laras slendro dan pelog;
(d)   pertunjukan dibuka dengan tari ngremo;
(e)   terdapat adegan bedayan;
(f)     terdapat sajian/adegan lawak/dagelan;
(g)   terdapat selingan travesti;
(h)   lakon diambil dari cerita rakyat, cerita sejarah, dan kehidupan sehari-hari;
(i) terdapat kidungan, baik kidungan  tari ngremo, kidungan bedayan, kidungan    lawak, dan kidungan adegan.
Senada dengan pendapat tersebut, Peacock (1968), mengemukakan ciri ludruk, antara lain,
1.      lakon yang dipentaskan merupakan ekspresi kehidupan rakyat seharihari;
2.      diiringi musik gamelan dengan tembang khas jula-juli;
3.      tata busana menggambarkan kehidupan rakyat sehari-hari;
4.      bahasa disesuaikan dengan lakon yang dipentaskan, dapat berupa bahasa Jawa atau Madura;
5.      kidungan terdiri atas pantun atau syair yang bertema kehidupan sehari-hari;
6.      tampilan dikemas secara sederhana, dan sangat akrab dengan penonton.
Kasemin (1999:19-20) menyatakan bahwa struktur pementasan ludruk dari zaman awal kemerdekaan sampai sekarang tidak mengalami perubahan yang signifikan. Artinya, struktur pementasan dari awal terciptanya seni ludruk hingga saat ini masih diikuti oleh generasi-generasi pelapisnya.
Struktur pementasan ludruk tersebut adalah sebagai berikut.
1.      Pembukaan, diisi dengan atraksi tari ngrema.
2.  Atraksi bedayan, berupa tampilan beberapa travesti dengan berjoged ringan sambil melantunkan kidungan jula-juli.
3.      Adegan lawak (dagelan), berupa tampilan seorang lawak yang menyajikan satu kidungan disusul oleh beberapa pelawak lain. Mereka kemudian berdialog dengan materi humor yang lucu.
4.      Penyajian lakon atau cerita. Bagian ini merupakan inti dari pementasan. Biasanya dibagi beberapa babak dan setiap babak dibagi lagi menjadi beberapa adegan. Di sela-sela bagian ini biasanya diisi selingan yang berupa tampilan seorang travesti dengan menyajikan satu tembang jula-juli. 
Tidak berbeda dari seni reog  Ponorogo, seni ludruk adalah kesenian tradisional nonagraris yang masih mampu bertahan. Di Provinsi Jawa Timur, daerah persebarannya cukup luas. Meski tak lagi menjadi pertunjukan yang laris manis seperti pada saat belum muncul televisi dan film layar lebar sebagai sarana hiburan, kehadirannya di tengah hiruk pikuk seni pop masih ditunggu banyak orang. Ludruk juga masih muncul di beberapa stasiun televisi dan radio dan menjaring pemirsa yang cukup meyakinkan, meski sebagian besar penikmatnya tetap masyarakat kelas menengah ke bawah.    
Penutup Secara budaya, hidup mati sebuah seni pertunjukan tidak pernah tergantung kepada pemerintah atau kepada institusi terkait yang mendapat amanah untuk menanganinya. Baik pemerintah maupun institusi terkait hanya berperan sebagai pemicu awal dan bukan kekuatan besar yang menjamin kelangsungan hidup sebuah produk kebudayaan. Yang bisa menjamin kelestarian sebuah produk kebudayaan dalam era kapitalisme global ini adalah para pewaris aktif dan pasar (baca: pewaris pasif). Apabila para pewaris aktifnya masih mempertahankan dan memeliharanya dengan baik, maka sebuah produk kesenian akan tetap hidup. Begitu juga, apabila pasar (penikmat, pewaris pasif) masih membutuhkan dan mengapresiasinya, maka ia akan bertahan sebagai komoditas yang memiliki arti ekonomis sehingga para pewaris aktifnya dapat memperoleh rezeki darinya. Tetapi apabila pasar tidak membutuhkannya, maka ia hanya akan bertahan sebagai klangenan bagi para pewaris aktifnya saja, yakni menjadi sesuatu yang dicintai dan diapresiasi secara pribadi, tetapi nilai ekonomisnya sangat rendah. Hal ini juga berlaku bagi seni reog dan seni ludruk. Ada tiga hal yang dapat mempertahankan kehidupan suatu bentuk seni pertunjukan. Pertama, memiliki pewaris aktif yang memiliki komitmen kuat untuk melestarikan seni pertunjukan yang digelutinya. Reog dan ludruk mempunyai pewaris aktif yang cukup setia, dan itulah yang membuat keduanya dapat bertahan. Kedua, memiliki pewaris pasif yang cukup setia untuk datang dan membeli pementasan karena pewaris pasif adalah pasar yang dapat mendukung keberadaan sebuah seni pertunjukan. Sejatinya, seni reog yang bercitra agraris dan seni ludruk yang bercitra nonagraris masih memiliki penikmat yang fanatik. Ketiga, ada campur tangan negara. Di Provinsi Jawa Timur, seni reog dan ludruk menjadi kebanggaan para pewarisnya karena keduanya menjadi penyangga identitas lokal pemiliknya.  

 Daftar Pustaka Ahmadi, Muhsin dkk. 1984. Penelitian Aspek Kesusastraan Dalam Seni Ludruk Jawa Timur. Surabaya: Depdikbud Jatim. Hutomo, Suripan Hadi. 1989. “Anelusur Asal lan Tegese Tembung Ludrug” dalam Panyebar Semangat No. 18, 19 April. Surabaya. Kasemin, Kasiyanto. 1999. Ludruk Sebagai Teater Sosial: Kajian Kritis Terhadap Kehidupan, Peran, dan Fungsi Ludruk Sebagai Media Komunikasi. Surabaya: Airlangga University Press. Peacock. 1968. Rites of Modernization, Symbolic and Social Aspects of Indonesian Proletarian Drama. Chicago: The University of Chicago Press. Sudikan, Setya Yuwana. 2002. Seni Pertunjukan Ludruk: Angara Konvensi, Inovasi, dan Transformasi (Memahami Seni Pertunjukan Tradisional Sebagai Sebuah Industri Kesenian). Makalah. Surabaya: Fakultas Sastra Universitas Airlangga. Supriyanto, Henrikus. 1984. Lakon-lakon Ludruk di Malang. Belum diterbitkan. ______. 1992. Lakon Ludruk  Jawa Timur. Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia. ______. 1994. Sandiwara Ludruk di Jawa Timur (Yang Tersingkir dan Tersungkur). Jakarta: MSPI & Grasindo. ______. 2001. Ludruk Jawa Timur: Pemaparan Sejarah, Tonel Direksi, Manajemen, Himpunan Lakon. Surabaya: PT. Bina Ilmu.

______. 2003. Membedah Tantangan dan Peluang Revitalisasi dan Renovasi Sandiwara Ludruk Millenium XXI (Makalah Sarasehan dan Kepelatihan Sandiwara Ludruk se Jawa Timur). Surabaya: Depdikbud – Jawa Timur. ______. 2006. Lakon Sarip Tambakyasa dalam Pertunjukan Ludruk: Analisis Wacana Poskolonial. Disertasi PPS UNUD. Sutarto, Ayu. 2002. “Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi.” Makalah. Surabaya: Universitas Airlangga. ______. 2002. “Ludruk di Tengah Prahara Perubahan Sosial dan Budaya”. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional di Surabaya pada tanggal 4 Juli 2002. ______. 2009. “Tradisi Keagamaan dan Pertanian dalam Sejarah Kebudayaan Masyarakat Jawa Timur”. Makalah disampaikan dalam Sinkronisasi Penyusunan Sejarah Jawa Timur yang diselenggarakan di Pasuruan, 17-19 Juni 2009.

Pantun, jenis, peran, struktur dan contohnya

Pantun, jenis, peran, struktur dan contohnya


Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang sangat luas dikenal dalam bahasa-bahasa Nusantara. Pantun berasal dari kata patuntun dalam bahasa Minangkabau yang berarti "petuntun". Dalam bahasa Jawa, misalnya, dikenal sebagai parikan, dalam bahasa Sunda dikenal sebagai paparikan, dan dalam bahasa Batak dikenal sebagai umpasa (baca: uppasa). Lazimnya pantun terdiri atas empat larik (atau empat baris bila dituliskan), setiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, bersajak akhir dengan pola a-b-a-b dan a-a-a-a (tidak boleh a-a-b-b, atau a-b-b-a). Pantun pada mulanya merupakan sastra lisan namun sekarang dijumpai juga pantun yang tertulis.
Semua bentuk pantun terdiri atas dua bagian: sampiran dan isi. Sampiran adalah dua baris pertama, kerap kali berkaitan dengan alam (mencirikan budaya agraris masyarakat pendukungnya), dan biasanya tak punya hubungan dengan bagian kedua yang menyampaikan maksud selain untuk mengantarkan rima/sajak. Dua baris terakhir merupakan isi, yang merupakan tujuan dari pantun tersebut.
Karmina dan talibun merupakan bentuk kembangan pantun, dalam artian memiliki bagian sampiran dan isi. Karmina merupakan pantun "versi pendek" (hanya dua baris), sedangkan talibun adalah "versi panjang" (enam baris atau lebih).


Peran pantun

Sebagai alat pemelihara bahasa, pantun berperan sebagai penjaga fungsi kata dan kemampuan menjaga alur berpikir. Pantun melatih seseorang berpikir tentang makna kata sebelum berujar. pantun juga melatih orang berpikir asosiatif, bahwa suatu kata bisa memiliki kaitan dengan kata yang lain. Secara sosial pantun memiliki fungsi pergaulan yang kuat, bahkan hingga sekarang. Di kalangan pemuda sekarang, kemampuan berpantun biasanya dihargai. Pantun menunjukkan kecepatan seseorang dalam berpikir dan bermain-main dengan kata.
Secara umum peran sosial pantun adalah sebagai alat penguat penyampaian pesan. Kedekatan nilai sosial dan pantun bahkan bermula dari filosofi pantun itu sendiri. ”Adat berpantun, pantang melantun” adalah filosofi yang melekat pada pantun. Adagium tersebut mengisyaratkan bahwa pantun lekat dengan nilai-nilai sosial dan bukan semata imajinasi[1]. Effensi (2005) mencatat semangat ”hakekat pantun menjadi penuntun" pada pantuan. Penjelasan tersebut meneguhkan fungsi pantun sebagai penjaga dan media kebudayaan untuk memperkenalkan dan menjaga nilai-nilai masyarakat[2].

Struktur pantun

Menurut Sutan Takdir Alisjahbana fungsi sampiran terutama menyiapkan rima dan irama untuk mempermudah pendengar memahami isi pantun. Ini dapat dipahami karena pantun merupakan sastra lisan. Pola rima dan irama pada pantun secara eksplisit menegaskan sifat kelisanan pantun pada budaya Melayu dulu.

Pantun memiliki dua pokok struktur utama, yaitu sampiran dan isi. Sampiran biasanya adalah 2 larik (baris ketika dituliskan) yang umumnya berisi hal-hal yang bersifat umum. Jantung pantun berada pada dua larik terakhir yang dikenal sebagai isi pantun. Pesan-pesan pada pantun melekat pada kedua larik terakhir.

Air dalam bertambah dalam
Hujan di hulu belum lagi teduh
Hati dendam bertambah dendam
Dendam dahulu belum lagi sembuh

Aturan umum berlaku pada pantun, seperti halnya puisi lama. Misalnya, satu larik pantun biasanya terdiri atas 6-12 kata. Namun aturan ini tak selalu berlaku dan bersifat kaku. Pola rima umum yang berlaku pada pantun adalah a-b-a-b dan a-a-a-a. Meski demikian, kerap diketemukan pula pola pantun yang berpola a-a-b-b.

Jenis-jenis pantun

Pantun Adat

Menanam kelapa di pulau Bukum
Tinggi sedepa sudah berbuah
Adat bermula dengan hukum
Hukum bersandar di Kitabullah

Ikan berenang lubuk
Ikan belida dadanya panjang
Adat pinang pulang ke tampuk
Adat sirih pulang ke gagang

Lebat daun bunga tanjung
Berbau harum bunga cempaka
Adat dijaga pusaka dijunjung
Baru terpelihara adat pusaka

Bukan lebah sembarang lebah
Lebah bersarang di buku buluh
Bukan sembah sembarang sembah
Sembah bersarang jari sepuluh

Pohon nangka berbuah lebat
Bilalah masak harum juga
Berumpun pusaka berupa adat
Daerah berluhak alam beraja
  • Pantun Agama
Banyak bulan perkara bulan
Tidak semulia bulan puasa
Banyak tuhan perkara tuhan
Tidak semulia Tuhan Yang Esa

Daun terap di atas dulang
Anak udang mati di tuba
Dalam kitab ada terlarang
Yang haram jangan dicoba

Bunga kenanga di atas kubur
Pucuk sari pandan Jawa
Apa guna sombong dan takabur
Rusak hati badan binasa

Asam kandis asam gelugur
Ketiga asam si riang-riang
Menangis mayat di pintu kubur
Teringat badan tidak sembahyang
  • Pantun Budi
Bunga cina di atas batu
Daunnya lepas ke dalam ruang
Adat budaya tidak berlaku
Sebabnya emas budi terbuang

Di antara padi dengan selasih
Yang mana satu tuan luruhkan
Diantara budi dengan kasih
Yang mana satu tuan turutkan

Apa guna berkain batik
Kalau tidak dengan sujinya
Apa guna beristeri cantik
Kalau tidak dengan budinya

Sarat perahu muat pinang
Singgah berlabuh di Kuala Daik
Jahat berlaku lagi dikenang
Inikan pula budi yang baik

Anak angsa mati lemas
Mati lemas di air masin
Hilang bahasa karena emas
Hilang budi karena miskin

Biarlah orang bertanam buluh
Mari kita bertanam padi
Biarlah orang bertanam musuh
Mari kita menanam budi

Ayam jantan si ayam jalak
Jaguh siantan nama diberi
Rezeki tidak saya tolak
Musuh tidak saya cari

Jikalau kita bertanam padi
Senanglah makan adik-beradik
Jikalau kita bertanam budi
Orang yang jahat menjadi baik

Kalau keladi sudah ditanam
Jangan lagi meminta balas
Kalau budi sudah ditanam
Jangan lagi meminta balas
  • Pantun Jenaka
Pantun Jenaka adalah pantun yang bertujuan untuk menghibur orang yang mendengar, terkadang dijadikan sebagai media untuk saling menyindir dalam suasana yang penuh keakraban, sehingga tidak menimbulkan rasa tersinggung, dan dengan pantun jenaka diharapkan suasana akan menjadi semakin riang. 
Contoh:
Di mana kuang hendak bertelur
Di atas lata di rongga batu
Di mana tuan hendak tidur
Di atas dada di rongga susu

Elok berjalan kota tua
Kiri kanan berbatang sepat
Elok berbini orang tua
Perut kenyang ajaran dapat

Sakit kaki ditikam jeruju
Jeruju ada di dalam paya
Sakit hati memandang susu
Susu ada dalam kebaya

Naik ke bukit membeli lada
Lada sebiji dibelah tujuh
Apanya sakit berbini janda
Anak tiri boleh disuruh

Orang Sasak pergi ke Bali
Membawa pelita semuanya
Berbisik pekak dengan tuli
Tertawa si buta melihatnya

Jalan-jalan ke rawa-rawa
Jika capai duduk di pohon palem
Geli hati menahan tawa
Melihat katak memakai helm

Limau purut di tepi rawa,
buah dilanting belum masak
Sakit perut sebab tertawa,
melihat kucing duduk berbedak

jangan suka makan mentimun
karna banyak getahnya
hai kawan jangan melamun
melamun itu tak ada gunanya
  • Pantun Kepahlawanan
Adakah perisai bertali rambut
Rambut dipintal akan cemara
Adakah misai tahu takut
Kamipun muda lagi perkasa

Hang Jebat Hang Kesturi
Budak-budak raja Melaka
Jika hendak jangan dicuri
Mari kita bertentang mata

Kalau orang menjaring ungka
Rebung seiris akan pengukusnya
Kalau arang tercorong kemuka
Ujung keris akan penghapusnya

Redup bintang haripun subuh
Subuh tiba bintang tak nampak
Hidup pantang mencari musuh
Musuh tiba pantang ditolak

Esa elang kedua belalang
Takkan kayu berbatang jerami
Esa hilang dua terbilang
Takkan Melayu hilang di bumi
  • Pantun Kias
Ayam sabung jangan dipaut
Jika ditambat kalah laganya
Asam di gunung ikan di laut
Dalam belanga bertemu juga

Berburu ke padang datar
Dapatkan rusa belang kaki
Berguru kepalang ajar
Bagaikan bunga kembang tak jadi

Anak Madras menggetah punai
Punai terbang mengirap bulu
Berapa deras arus sungai
Ditolak pasang balik ke hulu

Kayu tempinis dari kuala
Dibawa orang pergi Melaka
Berapa manis bernama nira
Simpan lama menjadi cuka

Disangka nenas di tengah padang
Rupanya urat jawi-jawi
Disangka panas hingga petang
Kiranya hujan tengah hari
  • Pantun Nasihat
Kayu cendana di atas batu
Sudah diikat dibawa pulang
Adat dunia memang begitu
Benda yang buruk memang terbuang

Kemuning di tengah balai
Bertumbuh terus semakin tinggi
Berunding dengan orang tak pandai
Bagaikan alu pencungkil duri

Parang ditetak ke batang sena
Belah buluh taruhlah temu
Barang dikerja takkan sempurna
Bila tak penuh menaruh ilmu

Padang temu padang baiduri
Tempat raja membangun kota
Bijak bertemu dengan jauhari
Bagaikan cincin dengan permata

Ngun Syah Betara Sakti
Panahnya bernama Nila Gandi
Bilanya emas banyak di peti
Sembarang kerja boleh menjadi

Jalan-jalan ke Kota Blitar
jangan lupa beli sukun
Jika kamu ingin pintar
belajarlah dengan tekun
  • Pantun Percintaan
Coba-coba menanam mumbang
Moga-moga tumbuh kelapa
Coba-coba bertanam sayang
Moga-moga menjadi cinta

Jangan suka bermain tali
Kalau tak ingin terikat olehnya
Putus cinta jangan disesali
Pasti kan datang cinta yang lainnya

Limau purut lebat di pangkal
Sayang selasih condong uratnya
Angin ribut dapat ditangkal
Hati yang kasih apa obatnya

Ikan belanak hilir berenang
Burung dara membuat sarang
Makan tak enak tidur tak tenang
Hanya teringat dinda seorang

Anak kera di atas bukit
Dipanah oleh Indera Sakti
Dipandang muka senyum sedikit
Karena sama menaruh hati

Ikan sepat dimasak berlada
Kutunggu digulai anak seberang
Jika tak dapat di masa muda
Kutunggu sampai beranak seorang

Kalau tuan pergi ke Tanjung
Kirim saya sehelai baju
Kalau tuan menjadi burung
Sahaya menjadi ranting kayu.

Kalau tuan pergi ke Tanjung
Belikan sahaya pisau lipat
Kalau tuan menjadi burung
Sahaya menjadi benang pengikat

Kalau tuan mencari buah
Sahaya pun mencari pandan
Jikalau tuan menjadi nyawa
Sahaya pun menjadi badan.
  • Pantun Peribahasa
Berakit-rakit ke hulu
Berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senang kemudian

Ke hulu memotong pagar
Jangan terpotong batang durian
Cari guru tempat belajar
Jangan jadi sesal kemudian

Kerat kerat kayu di ladang
Hendak dibuat hulu cangkul
Berapa berat mata memandang
Barat lagi bahu memikul

Harapkan untung menggamit
Kain di badan didedahkan
Harapkan guruh di langit
Air tempayan dicurahkan

Pohon pepaya di dalam semak
Pohon manggis sebasar lengan
Kawan tertawa memang banyak
Kawan menangis diharap jangan
  • Pantun Perpisahan
Pucuk pauh delima batu
Anak sembilang di tapak tangan
Biar jauh di negeri satu
Hilang di mata di hati jangan

Bagaimana tidak dikenang
Pucuknya pauh selasih Jambi
Bagaimana tidak terkenang
Dagang yang jauh kekasih hati

Duhai selasih janganlah tinggi
Kalaupun tinggi berdaun jangan
Duhai kekasih janganlah pergi
Kalaupun pergi bertahun jangan

Batang selasih mainan budak
Berdaun sehelai dimakan kuda
Bercerai kasih bertalak tidak
Seribu tahun kembali juga

Bunga Cina bunga karangan
Tanamlah rapat tepi perigi
Adik di mana abang gerangan
Bilalah dapat bertemu lagi

Kalau ada sumur di ladang
Bolehlah kita menumpang mandi
Kalau ada umurku panjang
Bolehlah kita bertemu lagi
  • Pantun Teka-teki
Kalau tuan bawa keladi
Bawakan juga si pucuk rebung
Kalau tuan bijak bestari
Binatang apa tanduk di hidung?

Beras ladang sulung tahun
Malam malam memasak nasi
Dalam batang ada daun
Dalam daun ada isi

Terendak bentan lalu dibeli
Untuk pakaian saya turun ke sawah
Kalaulah tuan bijak bestari
Apa binatang kepala di bawah ?

Kalau tuan muda teruna
Pakai seluar dengan gayanya
Kalau tuan bijak laksana
Biji di luar apa buahnya

Tugal padi jangan bertangguh
Kunyit kebun siapa galinya
Kalau tuan cerdik sungguh
Langit tergantung mana talinya?