REOG DAN LUDRUK: DUA PUSAKA BUDAYA DARI JAWA TIMUR YANG MASIH BERTAHAN
Oleh : Ayu
Sutarto
Pendahuluan
Masyarakat Jawa Timur memiliki banyak tradisi yang masih hidup (the living
traditions) dan dimanfaatkan serta dibanggakan oleh para pendukungnya.
Tradisi-tradisi tersebut, antara lain, berupa berbagai bentuk kesenian yang
memiliki banyak pewaris, baik pewaris aktif (active bearers) atau pelaku seni
maupun pewaris pasif (passive bearers) atau penikmat seni.
Bentuk
kesenian yang masih hidup tersebut secara garis besar dapat dibagi dua, yakni
kesenian agraris, antara lain, tayub, sandur, seblang, gandrung, dan reog,
serta kesenian non agraris seperti ludruk, wayang orang, kentrung, topeng,
ketoprak, jinggoan, janger, dan lain-lainnya. Salah satu bentuk kesenian
agraris yang sampai sekarang masih hidup dan memiliki pewaris aktif dan pasif
yang cukup banyak di Jawa Timur, bukan hanya di wilayah kebudayaan Jawa
Ponoragan, adalah reog Ponorogo. Sedangkan untuk kesenian nonagrarisnya adalah
sebuah teater rakyat yang disebut ludruk. Kedua bentuk seni pertunjukan ini
memiliki pewaris aktif dan juga pewaris pasif yang tersebar di berbagai tempat.
Namun demikian, sejalan dengan bertumbuhnya produk-produk kebudayaan global,
terutama pop arts, posisi kedua bentuk kesenian tersebut makin lama makin
terjepit. Reog Ponorogo, misalnya, di samping merupakan bentuk kesenian yang
unik juga bentuk kesenian yang terkait dengan ilmu kanuragan atau kekuatan
fisik. Mereka yang tidak memiliki tubuh yang sehat dan kuat tidak akan mampu
menyangga barongan dan dhadhak merak yang cukup berat. Ludruk bisa bertahan
karena lakon-lakon yang dipentaskan sangat aktual dan akrab dengan budaya
setempat, berupa legenda, dongeng, kisah sejarah dan kehidupan sehari-hari yang
menggunakan bahasa yang sangat komunikatif, disertai lawakan yang sangat
menghibur.
Makalah disampaikan dalam Jelajah
Budaya dengan tema: Pengenalan Budaya Lokal Sebagai Wahana Peningkatan
Pemahaman Keanekaragaman Budaya yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal
22-25 Juni 2009. ∗∗) Peneliti
Tradisi, Universitas Jember Jawa Timur
Senyatanya tantangan yang harus
dihadapi oleh para pewaris aktif seni pertunjukan tradisional agar bertahan
hidup di tengah-tengah pergumulan antara selera lokal dan selera global
sangatlah berat. Di satu sisi mereka (para pewaris aktif) memiliki komitmen
yang kuat dan tulus untuk senantiasa memelihara dan mencintai tradisinya,
tetapi di sisi lain mereka harus juga berhadapan dengan kenyataan perih bahwa
pasar atau penikmat tidak lagi berpihak kepada produk-produk hiburan
tradisional yang mereka tawarkan. Makalah ini akan menguak kehidupan dan
kebertahanan produk kesenian agraris, reog Ponorogo, dan produk kesenian
nonagraris, yakni sebuah teater rakyat yang disebut ludruk. Paparan ini
diharapkan dapat memberikan informasi tentang bagaimana seni reog dan seni
ludruk dapat bertahan di tengah gelombang produkproduk kesenian global. Paparan
ini juga diharapkan dapat memberi inspirasi kepada para pewaris aktifnya (para
pekerja reog dan pekerja seni ludruk) serta para pewaris pasifnya (para penikmat
yang terdiri dari masyarakat Jawa Timur dan masyarakat di luar provinsi Jawa
Timur), yakni inspirasi yang terkait dengan upaya konservasi dan promosi untuk
keberlangsungan hidupnya.
Reog dan Ludruk: Dua Tradisi
Hidup yang Masih Bertahan Dalam konteks sejarah kebudayaan, tradisi agraris
yang berkembang di wilayah Jawa Timur telah melahirkan beberapa bentuk kesenian
agraris yang hingga saat ini masih hidup dan berkembang, antara lain, tayub,
gandrung, seblang, kerapan sapi dan berbagai upacara kurban seperti upacara
Kasada di Tengger dan upacara Petik Laut di Muncar atau di beberapa daerah
pantai lain. Di samping tradisi memuja Dewi Padi atau Dewi Kesuburan, tradisi
agraris yang berkembang di Jawa timur juga melahirkan banyak bentuk kesenian
yang lain, misalnya:
- · Kerapan sapi di madura,
- · Bantengan di mojokerto,
- · Kebo-keboan di banyuwangi,
Harimau yang sangat ditakuti para
petani agaknya juga melahirkan banyak seni tari yang hingga saat ini masih
hidup di wilayah Jawa Timur, seperti tari Barong di Kemiren, Kabupaten
Banyuwangi, tari Singa Ulung di Kabupaten Bondowoso, dan Can Macanan Kadduk di
Kabupaten Jember. Meski tidak pernah disebutkan dalam sejarah reog, tari reog
Ponorogo bisa jadi juga lahir dari fenomena yang sama (Sutarto, 2009).
Sejatinya bentuk-bentuk kesenian agraris yang masih memiliki pendukung yang
cukup kuat ini merupakan kekayaan budaya yang secara ekonomis dapat
dimanfaatkan oleh para pewarisnya. Kekhasan dan keunikan yang dibawa oleh
bentuk kesenian tersebut merupakan modal dasar yang sangat berarti bagi
keberlangsungan hidupnya.
Setiap
bentuk kesenian memiliki sejarah asal-usul dan perkembangan yang berbeda.
Bahkan, sebuah bentuk kesenian bisa memiliki asal-usul atau sejarah lebih dari
satu versi. Seni reog Ponorogo, misalnya, memiliki lebih dari satu versi. Versi
pertama, bertolak dari gaya tari dan legenda yang diceritakan oleh pewaris
aktifnya, maka seni reog dikaitkan dengan era Kerajaan Kahuripan di Kediri
(1019-1049). Pada waktu itu wilayah yang sekarang disebut Ponorogo bernama
Wengker, yang merupakan bagian dari
Kerajaan Kahuripan. Tetapi perlu ditegaskan bahwa tokoh-tokoh utama yang
disebut dalam kisah tentang asal-usul seni reog seperti :
- · Prabu Klana Sewandana,
- · Pujangga Anom,
- · Dewi Sanggalangit,
- · Singabarong,
- · Manyura,
sejatinya bukan tokoh sejarah.
Dalam legenda tersebut dikisahkan bahwa Raja Wengker, Klana Sewandana, dan
patihnya Pujangga Anom pergi ke Kerajaan Kediri untuk melamar putri Kahuripan
yang sangat cantik. Dalam perjalanan ke Kediri, di tengah rimba Lodaya, mereka
dihadang oleh raja rimba yang bernama Singabarong dan Manyura, seekor merak
yang cantik tetapi sangat perkasa. Dengan bantuan cambuk Semandiman, Klana
Sewandana berhasil mengalahkan musuh-musuhnya dan bahkan membuat mereka menjadi
makhluk yang memiliki dua kepala, yaitu kepala harimau dengan seekor burung
merak bertengger di atasnya. Diceritakan pula bahwa Raja Klana Sewandana dapat
bertemu Putri Sanggalangit, tetapi tidak menikahinya. Menurut kepercayaan,
keduanya moksa. Versi kedua mengisahkan bahwa seni reog pertama-tama
dimanfaatkan oleh Demang Ki Ageng Kutu Surya Ngalam, seorang ulama untuk
mengeritik Raja Majapahit, Brawijaya V, yang dikendalikan oleh permaisurinya.
Sang Raja dilambangkan sebagai seekor harimau, sedangkan Sang Permaisuri
dilambangkan sebagai burung merak yang hinggap di atas kepala harimau tersebut.
Pada waktu Ponorogo diperintah oleh Bathara Katong, seni reog digunakan sebagai
alat yang efektif untuk menarik massa dan juga berkomunikasi dengan mereka.
Bathara Katong mampu mengamankan wilayah Majapahit, terutama kadipaten
Ponorogo, dan berhasil menyebarkan agama Islam secara damai. Ki Ageng Mirah,
seorang abdi yang setia, menandai keberhasilan tersebut dengan menempatkan
lambang Islam dalam bentuk tasbih pada paruh burung merak. Sementara simbol
ular masih tetap ada.
Para
seniman reog sangat menghormati tokoh lokal yang disebut warok. Bagi masyarakat
Ponorogo warok adalah tokoh lokal yang memiliki kekuatan adikodrati, martabat,
dan kharisma. Dalam seni reog para leluhur orang Ponorogo mengabadikan peranan
warok sebagai pengawal raja Wengker yang perkasa. Untuk memperingati
keberhasilan para pemuka Islam Ponorogo dalam menyebarkan agamanya, seperti Ki
Ageng Kutu Surya Ngalam, Bathara Katong, dan Ki Ageng Mirah, maka masyarakat
Ponorogo dengan dibantu oleh pemerintah Kabupaten Ponorogo menyelenggarakan
festival reog pada setiap bulan Syura atau Muharam. Pergelaran seni reog pada umumnya
menggambarkan perjalanan prajurit berkuda dari Ponorogo menuju kerajaan Kediri
untuk mempersunting putri Raja Kediri. Perjalanan para prajurit tersebut
dipimpin oleh senapati Bujangganong. Dalam perjalanan pulang, mereka dihadang
oleh Singabarong beserta tentaranya, tetapi prajurit Ponorogo memetik
kemenangan. Dalam sejarah politik Indonesia, reog pernah digunakan untuk
mengumpulkan atau mengerahkan massa, terutama dalam rapat atau kampanye partai
politik. Jadi, di samping berfungsi sebagai hiburan, seni reog juga berfungsi
sebagai alat penggerak massa. Formasi
iring-iringan seni reog biasanya terdiri dari :
- 1 tiga atau empat orang pengawal yang berpakaian lengkap dan khas Ponoragan. Mereka berperan sebagai pembuka jalan;
- 2 kelompok pendamping yang bertugas menjaga barisan penari reog, jumlahnya seimbang dengan jumlah kelompok pengawal;
- 3 penari/pemain inti dan pemain cadangan, terdiri atas pemain barongan, penari topeng, dan penari kuda;
- 4 pemukul gamelan yang berada di belakang kelompok penari, terdiri atas peniup terompet, tukang gendang, pemain angklung, pemukul kethuk kenong, dan pemukul ketipung; dan paling belakang .
5 para
pengiring. Para pemain, pengawal, pendamping, pengiring, dan pemukul gamelan
mengenakan pakaian khas Ponoragan yang hingga saat ini menjadi identitas
masyarakat Ponorogo.
Pada umumnya para pemain dan pengiring reog adalah kaum lelaki. Dalam
perkembangannya, muncul juga pemain perempuan, yakni para pengendara kuda
kepang atau eblek. Pernah pada suatu ketika seorang pejabat di Kabupaten
Ponorogo, yakni Kasi III Departemen P dan K Kabupaten Ponorogo mengeluarkan
surat edaran tentang larangan bagi perempuan untuk tidak menjadi penari kuda
kepang. Dinyatakan dalam surat edaran tersebut bahwa penari wanita dalam seni
reog adalah tabu. Larangan tersebut
tertuang dalam Surat Dep. P dan K No. 644/II.04.19/J-78 tanggal:
1-7-1978 (Hartono, 1980:18).
Dalam
sejarah seni reog Ponorogo dikenal adanya perilaku homoseksual. Sekelompok
laki-laki memelihara anak laki-laki belia, yang disebut gemblakan yang
dijadikan kekasih. Anak laki-laki tersebut menggantikan fungsi wanita. Ia
disayangi dan dimanjakan layaknya kekasih. Fenomena ini sekarang jarang
terdengar, tetapi beberapa orang mengatakan bahwa praktik homoseksual dalam
seni reog masih sering terjadi. Gamelan
yang mengiringi seni reog sangat khas, terdiri atas angklung, ketipung,
gendang, kempul, kethuk kenong, dan terompet. Kesenian reog tidak dapat
diiringi dengan jenis gamelan yang lain. Irama musiknya penuh gairah dan
semangat, seolah-olah sebuah pertempuran sedang membara. Musik ini dipercaya
sebagai pemberi energi positif terhadap penari reog, terutama penyangga
barongan dan dhadhak merak yang sangat berat, terkadang seberat 60 kg. Barongan dan dhadhak merak sebenarnya dua
buah benda yang dapat dipisahkan.
Barongan
adalah sebuah peralatan berbentuk kepala harimau, sedangkan dhadhak berupa burung
merak yang sedang menari. Apabila kedua buah benda tersebut disatukan, maka ia
disebut reog. Dalam seni reog juga terdapat penari topeng lain di samping
barongan, yakni topeng hewan, topeng manusia, dan topeng raksasa.Topeng
Bujangganong berwujud raksasa. Warnanya merah tua atau hitam. Rambutnya panjang
ke depan dan mata melotot. Terkadang ia disebut thethek melek. Sebagian besar
pemerhati menyatakan bahwa sebutan Bujangganong berasal dari Pujangga Anom..
Barongan termasuk topeng hewan. Sedangkan yang termasuk topeng manusia adalah
topeng klana. Ada juga yang memasukkan topeng patrajaya dan topeng patrathala
ke dalam kelompok topeng manusia. Dahulu, penari kuda kepang ialah seorang
gemblakan, sedangkan sebagai pembarongnya
diperagakan oleh seorang warok. Gemblakan atau warokan merupakan dua sosok yang
berbeda tetapi merupakan satu kesatuan. Keduanya tidak dapat dipisahkan, ibarat
merak dengan harimau dalam rimba raya. Gemblakan adalah merak, sedang warokan
adalah singa hitam (Hartono, 1980:69).
Hingga saat ini seni reog masih memiliki pewaris aktif dan pewaris pasif
yang cukup banyak. Daya tarik seni reog masih cukup besar. Banyak event penting
yang menyuguhkan pertunjukan reog. Biaya tanggapan cukup beragam, dari beberapa
juta hingga puluhan juta rupiah. Meskipun sekarang ini seni reog tidak lagi
menjadi instrumen politik dan hanya memiliki pasar yang terbatas, ia masih
dapat bertahan dengan gagah dan mampu mencuri perhatian massa. Bagaimana halnya
dengan perkembangan seni ludruk di Jawa Timur? Masih banyaknya kelompok
kesenian ludruk di berbagai daerah di Jawa Timur merupakan indikator bahwa
teater tradisional ini masih dikehendaki keberadaannya.
Dari Buku
Seni Tradisi Budaya Daerah (Data organisasi Kesenian Daerah se Jawa Timur) yang
diterbitkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa
Timur (1998) dapat dilihat bahwa sebagian kota di Jatim, terutama wilayah
kebudayaan Arek dan Pandalungan masih
memiliki banyak kelompok kesenian ludruk. Sebagai seni pertunjukan tradisional Jawa,
ludruk memiliki konvensi yang terkait dengan wewaton (dasar pertunjukan),
paugeran (aturan pertunjukan), dan pakem (bakuan) dalam setiap pertunjukannya.
Diakui atau tidak, seni pertunjukan ludruk sekarang ini merupakan salah satu
jenis seni pertunjukan tradisional yang menjadi “korban” perubahan selera
berkesenian dan selera publik terhadap jenis tontonan dan hiburan. Sekarang
ini, sejujurnya, berbeda dari era 1950-an dan 1960-an ketika kesenian
tradisional masih berjaya, ludruk kurang
mendapatkan tempat di hati publik.
Dalam sejarah kesenian, ludruk memiliki sejarah yang cukup panjang.
Suripan Sadi Hutomo (1990:7) telah menyajikan sistematika sejarah ludruk
berdasarkan manuskrip, kamus, artikel, dan laporan pejabat pemerintah kolonial
Belanda. Menurutnya, sejarah ludruk berdasarkan data tertulis, berawal dari
Lerok Bandan, yakni seni pertunjukan rakyat yang dipentaskan di halaman,
didukung dengan alat musik yang amat sederhana, anatar lain, kendang dan jidor.
Penyajian pertunjukan lerok bandan didukung oleh pelaku panggung yang
menyajikan adegan mistis, kesaktian atau kekebalan. Pertunjukan ini seringkali
digunakan sebgai pengobatan anak yang sedang sakit. Secara historis bentuk seni
ludruk ini diperkirakan telah muncul ada abad ke-13 dan ke-14 bahkan sampai
abad ke-16. Kemudian dikenal istilah Sandiwara Lerok yang telah dilengkapi
dengan musik pengiring gamelan sederhana, tetapi di dalamnya sudah terdapat
kidung/kidungan. Bentuk ini masih menyajikan unsur mistis, kekuatan gaib,
tenaga dalam dan serangkaian sistem religi Jawa yang lain. Setelah itu muncul
istilah Lerok Besut dan Lerok Ngamen
yang mendapat sambutan besar dari masyarakatnya. Para pemainnya sering diundang
ke tempat orang-orang yang punya hajat, misalnya acara penganten, khitanan,
ngruwat/melepas kaul, dan lain-lainnya
dengan sebutan nanggap lerok (Supriyanto, 2001:11). Yang paling akhir
muncul adalah bentuk lerok berlakon, yakni penyajian seni pertunjukan dengan
dukungan cerita. Lerok berlakon ini memasuki masa popularitas yang tinggi
sesudah zaman Jepang dan pasca kemerdekaan Republik Indonesia. D. Djajakusuma
pada sarasehan ludruk di Surabaya pada tahun 1987 mengatakan bahwa pada awal
abad ke-19, kata ludruk telah dikenal di lingkungan masyarakat Jawa Timur.
Berdasarkan data tersebut, Suripan Sadi Hutomo menyimpulkan bahwa pada abad
ke-17 kata ludruk dalam arti badhut atau bebadhutan telah menjadi kesenian
rakyat. Permasalahannya ialah bagaimana menelusuri bentuk dan ciri kesenian
rakyat tersebut yang tidak dapat direkonstruksi (Supriyanto, 2001:8-10).
Sebagai
produk budaya lokal, ludruk merupakan seni pertunjukan yang khas bagi rakyat
Jawa Timur. Sebagai produk budaya lokal yang khas, ludruk mempunyai
karakteristik yang tidak ditemukan dalam seni tradisional yang lain. Sedyawati
(dalam Supriyanto, 1992:23-24) menyatakan bahwa ludruk sebagai drama
tradisional, memiliki ciri khas, antara
lain,
(1) pertunjukan
ludruk dilakukan secara improvisatoris, tanpa persiapan naskah;
(2) memiliki
pakem/ konvensi:
(a) terdapat
pemeran wanita yang diperankan oleh
laki-laki;
(b) memiliki
lagu khas, berupa kidungan jula-juli;
(c) iringan
musik berupa gamelan berlaras slendro, pelog, laras slendro dan pelog;
(d) pertunjukan
dibuka dengan tari ngremo;
(e) terdapat
adegan bedayan;
(f) terdapat
sajian/adegan lawak/dagelan;
(g) terdapat
selingan travesti;
(h) lakon
diambil dari cerita rakyat, cerita sejarah, dan kehidupan sehari-hari;
(i)
terdapat kidungan, baik kidungan tari
ngremo, kidungan bedayan, kidungan lawak,
dan kidungan adegan.
Senada dengan pendapat tersebut,
Peacock (1968), mengemukakan ciri ludruk, antara lain,
1. lakon yang
dipentaskan merupakan ekspresi kehidupan rakyat seharihari;
2. diiringi
musik gamelan dengan tembang khas jula-juli;
3. tata busana
menggambarkan kehidupan rakyat sehari-hari;
4. bahasa
disesuaikan dengan lakon yang dipentaskan, dapat berupa bahasa Jawa atau
Madura;
5. kidungan
terdiri atas pantun atau syair yang bertema kehidupan sehari-hari;
6. tampilan
dikemas secara sederhana, dan sangat akrab dengan penonton.
Kasemin (1999:19-20) menyatakan
bahwa struktur pementasan ludruk dari zaman awal kemerdekaan sampai sekarang
tidak mengalami perubahan yang signifikan. Artinya, struktur pementasan dari
awal terciptanya seni ludruk hingga saat ini masih diikuti oleh
generasi-generasi pelapisnya.
Struktur pementasan ludruk tersebut
adalah sebagai berikut.
1. Pembukaan,
diisi dengan atraksi tari ngrema.
2. Atraksi
bedayan, berupa tampilan beberapa travesti dengan berjoged ringan sambil
melantunkan kidungan jula-juli.
3. Adegan
lawak (dagelan), berupa tampilan seorang lawak yang menyajikan satu kidungan
disusul oleh beberapa pelawak lain. Mereka kemudian berdialog dengan materi
humor yang lucu.
4. Penyajian
lakon atau cerita. Bagian ini merupakan inti dari pementasan. Biasanya dibagi
beberapa babak dan setiap babak dibagi lagi menjadi beberapa adegan. Di
sela-sela bagian ini biasanya diisi selingan yang berupa tampilan seorang
travesti dengan menyajikan satu tembang jula-juli.
Tidak berbeda dari seni reog Ponorogo, seni ludruk adalah kesenian
tradisional nonagraris yang masih mampu bertahan. Di Provinsi Jawa Timur,
daerah persebarannya cukup luas. Meski tak lagi menjadi pertunjukan yang laris
manis seperti pada saat belum muncul televisi dan film layar lebar sebagai sarana
hiburan, kehadirannya di tengah hiruk pikuk seni pop masih ditunggu banyak
orang. Ludruk juga masih muncul di beberapa stasiun televisi dan radio dan
menjaring pemirsa yang cukup meyakinkan, meski sebagian besar penikmatnya tetap
masyarakat kelas menengah ke bawah.
Penutup
Secara budaya, hidup mati sebuah seni pertunjukan tidak pernah tergantung
kepada pemerintah atau kepada institusi terkait yang mendapat amanah untuk
menanganinya. Baik pemerintah maupun institusi terkait hanya berperan sebagai
pemicu awal dan bukan kekuatan besar yang menjamin kelangsungan hidup sebuah
produk kebudayaan. Yang bisa menjamin kelestarian sebuah produk kebudayaan
dalam era kapitalisme global ini adalah para pewaris aktif dan pasar (baca:
pewaris pasif). Apabila para pewaris aktifnya masih mempertahankan dan
memeliharanya dengan baik, maka sebuah produk kesenian akan tetap hidup. Begitu
juga, apabila pasar (penikmat, pewaris pasif) masih membutuhkan dan
mengapresiasinya, maka ia akan bertahan sebagai komoditas yang memiliki arti
ekonomis sehingga para pewaris aktifnya dapat memperoleh rezeki darinya. Tetapi
apabila pasar tidak membutuhkannya, maka ia hanya akan bertahan sebagai
klangenan bagi para pewaris aktifnya saja, yakni menjadi sesuatu yang dicintai
dan diapresiasi secara pribadi, tetapi nilai ekonomisnya sangat rendah. Hal ini
juga berlaku bagi seni reog dan seni ludruk. Ada tiga hal yang dapat
mempertahankan kehidupan suatu bentuk seni pertunjukan. Pertama, memiliki
pewaris aktif yang memiliki komitmen kuat untuk melestarikan seni pertunjukan
yang digelutinya. Reog dan ludruk mempunyai pewaris aktif yang cukup setia, dan
itulah yang membuat keduanya dapat bertahan. Kedua, memiliki pewaris pasif yang
cukup setia untuk datang dan membeli pementasan karena pewaris pasif adalah
pasar yang dapat mendukung keberadaan sebuah seni pertunjukan. Sejatinya, seni
reog yang bercitra agraris dan seni ludruk yang bercitra nonagraris masih
memiliki penikmat yang fanatik. Ketiga, ada campur tangan negara. Di Provinsi
Jawa Timur, seni reog dan ludruk menjadi kebanggaan para pewarisnya karena
keduanya menjadi penyangga identitas lokal pemiliknya.
Daftar Pustaka Ahmadi, Muhsin dkk. 1984.
Penelitian Aspek Kesusastraan Dalam Seni Ludruk Jawa Timur. Surabaya: Depdikbud
Jatim. Hutomo, Suripan Hadi. 1989. “Anelusur Asal lan Tegese Tembung Ludrug”
dalam Panyebar Semangat No. 18, 19 April. Surabaya. Kasemin, Kasiyanto. 1999.
Ludruk Sebagai Teater Sosial: Kajian Kritis Terhadap Kehidupan, Peran, dan
Fungsi Ludruk Sebagai Media Komunikasi. Surabaya: Airlangga University Press.
Peacock. 1968. Rites of Modernization, Symbolic and Social Aspects of
Indonesian Proletarian Drama. Chicago: The University of Chicago Press.
Sudikan, Setya Yuwana. 2002. Seni Pertunjukan Ludruk: Angara Konvensi, Inovasi,
dan Transformasi (Memahami Seni Pertunjukan Tradisional Sebagai Sebuah Industri
Kesenian). Makalah. Surabaya: Fakultas Sastra Universitas Airlangga.
Supriyanto, Henrikus. 1984. Lakon-lakon Ludruk di Malang. Belum diterbitkan.
______. 1992. Lakon Ludruk Jawa Timur.
Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia. ______. 1994. Sandiwara Ludruk di
Jawa Timur (Yang Tersingkir dan Tersungkur). Jakarta: MSPI & Grasindo.
______. 2001. Ludruk Jawa Timur: Pemaparan Sejarah, Tonel Direksi, Manajemen,
Himpunan Lakon. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
______. 2003. Membedah Tantangan
dan Peluang Revitalisasi dan Renovasi Sandiwara Ludruk Millenium XXI (Makalah
Sarasehan dan Kepelatihan Sandiwara Ludruk se Jawa Timur). Surabaya: Depdikbud
– Jawa Timur. ______. 2006. Lakon Sarip Tambakyasa dalam Pertunjukan Ludruk:
Analisis Wacana Poskolonial. Disertasi PPS UNUD. Sutarto, Ayu. 2002. “Seni
Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi.” Makalah. Surabaya: Universitas
Airlangga. ______. 2002. “Ludruk di Tengah Prahara Perubahan Sosial dan
Budaya”. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional di Surabaya pada tanggal 4
Juli 2002. ______. 2009. “Tradisi Keagamaan dan Pertanian dalam Sejarah
Kebudayaan Masyarakat Jawa Timur”. Makalah disampaikan dalam Sinkronisasi
Penyusunan Sejarah Jawa Timur yang diselenggarakan di Pasuruan, 17-19 Juni
2009.