Mendapatkan
Jalan dan Mendapatkan Hidup
Kalau
tersesat di Jakarta kita bisa menanyakan jalan, tetapi kalau tersesat di Gunung
Gede kita bisa celaka. Dalam keadaan seperti itu menemukan jalan adalah perkara
hidup dan mati. Sering kita mendengar tentang pendaki gunung yang tewas akibat
tersesat dan tidak menemukan jalan. Dalam keadaan itu kita baru sadar tentang
pentingnya jalan. Menemukan jalan berarti hidup; sebaliknya tidak menemukan
jalan berarti mati. Disini jalan menjadi jalan kehidupan atau jalan yang
mendatangkan hidup.
Tuhan
Yesus juga berbicara tentang jalan seperti itu. Ia menyebutnya “ jalan yang
menuju kepada kehidupan”. Menurut Mat 7:13-14 Yesus berkata,
“masuklah melalui pintu yang sesak itu,karena lebarlah pintu dan luaslah jalan
yang menuju kepada kebinasaan,dan banyak orang yang masuk melaluinya; karena
sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang enuju kepada kehidupan dan sedikit
orang yang mendapatinya.” Perhatikan kontras-kontras dalam ucapan itu:
yang lebar dan yang sempit, banyak dan sedikit, kebinasaan dan kehidupan. Lalu
Yesus menyuruh murid-Nya memilih jalan yang sempit karena jalan itu menuju pada
kehidupan, sedangkan jalan yang lebar menuju pada kebinasaan.
Pada kesempatan lain Tuhan
Yesus Berbicara tentang jalan yang menuju kepada Bapa. Secara tersirat Ia
menunjuk bahwa Ia sedang berjalan di jalan itu. Lalu Ia membuat pernyataan
bawha Ia sendiri adalah jalan itu: “ Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak
seorangpun yang datang kepada Bapa , kalau tidak melalui Aku “ [Yoh. 14:6 ].
Ketika Yesus berbicara
tentang kehidupan, konteksnya selalu mengisyaratkan bahwa jalan itu penuh
dengan penderitaan. Di sini tampak suatu paradoks: ja;an yang memberi kehidupan
adalah jalan penderitaan. Yesus mengatakan demikian karena kehidupan didapatkan
melalui penderitaan. Seluruh hidup Tuhan Yesus yang 33 tahun itu penuh dengan
penderitaan. Bagi Yesus, hidup dan penderitaan bukan dua hal yang saling
bertentangan, melainkan saling mengisi. Justru melalui penderitaan terjadi
kehidupan.
Yang dimaksud dengan
kehidupan disini bukanlah dalam arti biologis. Secara biologis ciri hidup
adalah masih bernapas. Namun, alkitab mempunyai ukuran yang lain tentang hidup,
yaitu ukuran teologis. Ciri hidup secara
teologis asalah berada dalam hubungan yang benar dengan Tuhan dan sesama
ciptaan. Dalam Perjanjian Baru hidup seperti itu disebut hidup yang kekal atau
juga hidup tanpa tambahan kata kekal. Ungkapan kata hidup yang kekal (Yunani:
zo-en aionion) bukanlah pertama-tama berarti hidup yang abadi, langgeng atau
hidup yang berlangsung selama-lamanya tanpa akhir, melainkan hidup yang sejati,
yang padat, yang bermutu, yang sifat dan isinya benar-benar sesuaidengan apa
yang dimaksudkan Tuhan. Dan yang dimaksudkan Tuhan dengan hidup adalah aar kita
berada dalam hubungan yang benar dengan Tuhan dan dengan segala ciptaan-Nya. Jadi
yang dimaksud dengan hidup kekal
bukanlah pertama-tama dalam arti kuantitas, melainkan kualitas. Hidup dengan
kualitas seperti itu bisa terjadi kalau kita rela menderita, yaitu menempatkan
kehendak sendiri dalam keterkaitan dengan kehendak Tuhan dan kebutuhan orang
lain.
Itulah yang diperbuat Tuhan
Yesus. Keberadaan-Nya bukanlah untuk diri-Nya sendiri. Hidup-Nya tidak
berorientasi pada diri sendiri. Melainkan kepada pihak lain, yaitu hidup untuk
Bapa-Nya dan untuk manusia. Sikap itu dijalanka-Nya sepanjang hidup-Nya, dan
puncaknya tampak pada penyalipan dan kebangkitan-Nya. Tuhan membangkitkan Dia
sebagai tanda bahwa Bapa mengabsahkan orientasi hidp Yesus. Pada hari paskah
terjadi pada apa yang tadi disebut: melalui penderitaan timbul kehidupan.
Secara biologis kita memang
hidup. Bahkan kita hidup dengan jaya; tubuh kita sehat dan penampilan kita
segar bugar. Tetapi itu sama sekali bukan berarti bahwa kita hidup secara
teologis. Perbedaan dua macam ukuran itu tampak dalam cerita Adam. Tuhan
melarang Adam makan buah terlarang, sebab “ pada hari engkau memakanya,
pastilah engkau mati “ [Kej. 2:7]. Namun Adam memakan buah itu. Apakah pada
hari itu Adam mati? Tidak, Adam tetap hidup, tetapi hidupnya secara biologis
saja, sebab secara teologis ia mati. Pelanggaran yang dibuat adam telah
merusakan hubungan dengan Bapa. Adam malu dan tidak berani berjumpa dengan
Bapa. Hubunganya dengan Bapa telah rusak. Ia menjadi seperti jam besar yang
rusak dilapangan merdeka. Jam itu tampak bagus tapi jam itu mati. Tuhan Yesus
menghendaki agar kita hidup bukan hanya secara biologis saja melainkan juga secara
teologis, yaitu berada dalam hubungan yang benar dengan Bapa dan sesama kita. Itulah
hidup yang kekal atau hidup yang sejati yang sudah boleh kita jalani mulai dari
sekarang. Oleh sebab itu Tuhan Yesus mengajak kita untuk berjalan
dibelakang-Nya dan mengikuti Dia. Mengikuti Dia berarti mendapatkan jalan. Dan mendapatkan
jalan berarti mendapatkan hidup.
|