Kamis, 16 Agustus 2018

Mendapatkan Jalan dan Mendapatkan Hidup


Mendapatkan Jalan dan Mendapatkan Hidup


Kalau tersesat di Jakarta kita bisa menanyakan jalan, tetapi kalau tersesat di Gunung Gede kita bisa celaka. Dalam keadaan seperti itu menemukan jalan adalah perkara hidup dan mati. Sering kita mendengar tentang pendaki gunung yang tewas akibat tersesat dan tidak menemukan jalan. Dalam keadaan itu kita baru sadar tentang pentingnya jalan. Menemukan jalan berarti hidup; sebaliknya tidak menemukan jalan berarti mati. Disini jalan menjadi jalan kehidupan atau jalan yang mendatangkan hidup.
Tuhan Yesus juga berbicara tentang jalan seperti itu. Ia menyebutnya “ jalan yang menuju kepada kehidupan”. Menurut Mat 7:13-14 Yesus berkata, “masuklah melalui pintu yang sesak itu,karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kepada kebinasaan,dan banyak orang yang masuk melaluinya; karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang enuju kepada kehidupan dan sedikit orang yang mendapatinya.” Perhatikan kontras-kontras dalam ucapan itu: yang lebar dan yang sempit, banyak dan sedikit, kebinasaan dan kehidupan. Lalu Yesus menyuruh murid-Nya memilih jalan yang sempit karena jalan itu menuju pada kehidupan, sedangkan jalan yang lebar menuju pada kebinasaan.
Pada kesempatan lain Tuhan Yesus Berbicara tentang jalan yang menuju kepada Bapa. Secara tersirat Ia menunjuk bahwa Ia sedang berjalan di jalan itu. Lalu Ia membuat pernyataan bawha Ia sendiri adalah jalan itu: “ Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak seorangpun yang datang kepada Bapa , kalau tidak melalui Aku “ [Yoh. 14:6 ].
Ketika Yesus berbicara tentang kehidupan, konteksnya selalu mengisyaratkan bahwa jalan itu penuh dengan penderitaan. Di sini tampak suatu paradoks: ja;an yang memberi kehidupan adalah jalan penderitaan. Yesus mengatakan demikian karena kehidupan didapatkan melalui penderitaan. Seluruh hidup Tuhan Yesus yang 33 tahun itu penuh dengan penderitaan. Bagi Yesus, hidup dan penderitaan bukan dua hal yang saling bertentangan, melainkan saling mengisi. Justru melalui penderitaan terjadi kehidupan.
Yang dimaksud dengan kehidupan disini bukanlah dalam arti biologis. Secara biologis ciri hidup adalah masih bernapas. Namun, alkitab mempunyai ukuran yang lain tentang hidup, yaitu ukuran teologis.  Ciri hidup secara teologis asalah berada dalam hubungan yang benar dengan Tuhan dan sesama ciptaan. Dalam Perjanjian Baru hidup seperti itu disebut hidup yang kekal atau juga hidup tanpa tambahan kata kekal. Ungkapan kata hidup yang kekal (Yunani: zo-en aionion) bukanlah pertama-tama berarti hidup yang abadi, langgeng atau hidup yang berlangsung selama-lamanya tanpa akhir, melainkan hidup yang sejati, yang padat, yang bermutu, yang sifat dan isinya benar-benar sesuaidengan apa yang dimaksudkan Tuhan. Dan yang dimaksudkan Tuhan dengan hidup adalah aar kita berada dalam hubungan yang benar dengan Tuhan dan dengan segala ciptaan-Nya. Jadi yang dimaksud dengan  hidup kekal bukanlah pertama-tama dalam arti kuantitas, melainkan kualitas. Hidup dengan kualitas seperti itu bisa terjadi kalau kita rela menderita, yaitu menempatkan kehendak sendiri dalam keterkaitan dengan kehendak Tuhan dan kebutuhan orang lain.
Itulah yang diperbuat Tuhan Yesus. Keberadaan-Nya bukanlah untuk diri-Nya sendiri. Hidup-Nya tidak berorientasi pada diri sendiri. Melainkan kepada pihak lain, yaitu hidup untuk Bapa-Nya dan untuk manusia. Sikap itu dijalanka-Nya sepanjang hidup-Nya, dan puncaknya tampak pada penyalipan dan kebangkitan-Nya. Tuhan membangkitkan Dia sebagai tanda bahwa Bapa mengabsahkan orientasi hidp Yesus. Pada hari paskah terjadi pada apa yang tadi disebut: melalui penderitaan timbul kehidupan.
Secara biologis kita memang hidup. Bahkan kita hidup dengan jaya; tubuh kita sehat dan penampilan kita segar bugar. Tetapi itu sama sekali bukan berarti bahwa kita hidup secara teologis. Perbedaan dua macam ukuran itu tampak dalam cerita Adam. Tuhan melarang Adam makan buah terlarang, sebab “ pada hari engkau memakanya, pastilah engkau mati “ [Kej. 2:7]. Namun Adam memakan buah itu. Apakah pada hari itu Adam mati? Tidak, Adam tetap hidup, tetapi hidupnya secara biologis saja, sebab secara teologis ia mati. Pelanggaran yang dibuat adam telah merusakan hubungan dengan Bapa. Adam malu dan tidak berani berjumpa dengan Bapa. Hubunganya dengan Bapa telah rusak. Ia menjadi seperti jam besar yang rusak dilapangan merdeka. Jam itu tampak bagus tapi jam itu mati. Tuhan Yesus menghendaki agar kita hidup bukan hanya secara biologis saja melainkan juga secara teologis, yaitu berada dalam hubungan yang benar dengan Bapa dan sesama kita. Itulah hidup yang kekal atau hidup yang sejati yang sudah boleh kita jalani mulai dari sekarang. Oleh sebab itu Tuhan Yesus mengajak kita untuk berjalan dibelakang-Nya dan mengikuti Dia. Mengikuti Dia berarti mendapatkan jalan. Dan mendapatkan jalan berarti mendapatkan hidup.
Selamat mengikut Yesus
 
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar